Gelar Demo, MKRI Ingin Gulingkan SBY-Boediono
JAKARTA, KOMPAS.com — "Menggulingkan
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebuah keniscayaan," kata
Ketua Majelis Kedaulatan Rakyat (MKRI) Ratna Sarumpaet ketika jumpa pers di
Sekretariat MKRI di Jakarta, Minggu (24/3/2013).
MKRI akan mendeklarasikan gerakannya di Gedung
YLBHI di Jakarta, Senin (25/3/2013) pukul 11.00 WIB. Selain Ratna, tokoh yang tergabung dalam MKRI
di antaranya Adie M Massardi, Erwin Usman, Neta S Pane, dan Haris Rusli. Banyak
tokoh lain yang disebut ikut mendukung.
Bagaimana
sebenarnya gerakan MKRI? Target mereka menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa
sebelum Pemilu 2014. Alasannya, mereka menuding kondisi Indonesia sekitar
delapan tahun terakhir telah rusak di segala segi, baik ekonomi, kebudayaan,
kedaulatan rakyat, maupun lainnya.
Berbagai kasus dibawa-bawa untuk mendukung
aksinya seperti kasus intoleransi, konflik agraria, dan terorisme. Selain itu,
korupsi yang melibatkan elite Partai Demokrat, dan kasus dana talangan Century
yang disebut melibatkan Wapres Boediono. "Gurita korupsi terjadi luar
biasa," kata Usman.
Mereka berpandangan tak ada cara lain untuk
memperbaikinya selain menjatuhkan pemerintahan SBY-Boediono. Setelah jatuh,
mereka akan membentuk pemerintahan transisi. Disebutkan, pemerintahan transisi
akan dipimpin presidium berisi tiga tokoh yang mereka tunjuk. Nantinya, semua
pemimpin kementerian/lembaga, institusi penegak hukum, hingga militer diganti.
Tak hanya menjatuhkan pemerintahan, MKRI
ingin mengubah peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar UUD 1945
seperti UU Partai Politik dan UU Pemilu Legislatif. Mereka juga ingin mengganti
semua anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari tingkat pusat sampai daerah.
Mereka akan menggelar pemilu yang dibuat oleh pemerintahan transisi.
Mengapa MKRI tak menunggu Pemilu 2014?
Mereka berpandangan, pemerintahan dan parpol peserta pemilu yang korup,
ditambah tidak jujurnya KPU, akan menghasilkan presiden, wakil presiden, dan
para anggota legislatif yang tak jauh berbeda dengan saat ini.
"Pemerintahan yang korup tidak punya
otoritas moral untuk menyelenggarakan pemilu. Parpol peserta pemilu sangat
korup, KPU banyak melakukan hal-hal tidak jujur. Kita sudah bisa bayangkan apa
hasil pemilu," kata Adhie yang menjabat Sekjen MKRI.
MKRI tak mengakui perbaikan data daftar
pemilih tetap (DPT) yang telah dilakukan. Entah dari mana sumber informasinya,
mereka menyebut Pemilu 2014 akan menggunakan DPT Pemilu 2009.
Meski menyebut semua UU harus sesuai dengan
UUD 1945, MKRI tak mengakui mekanisme memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden yang diatur dalam konstitusi. Padahal, di dalam Pasal 7A dan 7B UUD
1945 diatur mekanisme pergantian presiden dan/atau wakil presiden.
Usul pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dulu meminta Mahkamah
Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden
dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden. Proses akan berjalan hingga berakhir di MPR.
Sebagai dasar menjatuhkan pemerintah, MKRI
memakai pandangan yang disebut diajarkan Presiden Pertama Indonesia Soekarno.
"Aku hanya mengerti konstitusi seperti diajarkan Soekarno. Pada pidato 17
Agustus 1959, dia katakan dengan tegas bahwa konstitusi diciptakan untuk
rakyat, bukan rakyat diciptakan untuk konstitusi. Kalau pemerintah yang sedang
berkuasa tidak memerintah sesuai kehendak rakyat, rakyat berhak dan
konstitusional untuk menurunkan pemerintahan," kata Ratna.
MKRI akan menyosialisasikan
gerakan kepada masyarakat dengan berbagai cara setelah deklarasi. MKRI selalu
mengklaim gerakannya bukan aksi inkonstitusional. Lalu, jika tak mengacu
konstitusi UUD 1945, bagaimana cara MKRI menjatuhkan Presiden dan Wakil
Presiden?
0 comments: