Masalah “Rasa” Jangan di Perdebatkan!

Kehidupan mahasiswa memang sukar untuk di lupakan; karena begitu banyak penggalan kisah, etape sejarah yang unik, sedih, senang, riang, masgul, dan kadang-kadang memesona. Apalagi bagi yang menggeluti dunia aktivisme, mereka merasakan betul saripati menjadi mahasiswa.
Saya pernah mengalami sebuah kisah yang unik tapi penuh hikmah. Kejadian terjadi pada tahun 2006 di kota Karang, Kupang. Waktu itu saya aktif di sebuah organisasi ekstra universitas berskala nasional. Kami kadang-kadang menghabiskan waktu semalam suntuk berdiskusi hanya ditemani secangkir kopi. Rasa kebersamaan, solidaritas, empati dan sikap asertif sungguh kami rasakan dalam kumpulan ini.

Pada suatu hari di sebuah sore yang cerah, kami berkumpul di kos seorang kawan. Karena malamnya kami berencana “menguliti” sebuah buku Filsafat baru. Waktu itu sahabat yang punya kos menjamu kami dengan masakan yang khas aktivis. waktu giliran makan, masing-masing pihak mempersoalkan rasa sayur yang di masak sama kawan tadi.

Ada yang bilang terlalu asin, ada yang bilang kurang garam, ada yang bilang kurang rasanya. Pokoknya tak ada yang mengapresiasi keringat sahabat yang sudah susah payah membuat dan memasak sayur tadi. Bahkan makan di pending untuk sementara karena tak ada yang mau mengalah.
Sahabat yang punya kos dan memasak tadi merasa tak di hargai, karena sudah capek masak, justru rasanya di perdebatkan. Namun tak ada yang mengalah, ego telah membuat nalar kami tak waras. Akhirnya seorang kawan yang suka bergumul dengan buku-buku filsafat mengeluarkan wejangan. “kata ibu saya di kampong, masalah rasa itu jangan di perdebatkan.”
Pernyataan kawan tadi menyadarkan kami semua, bahwa kami telah menzalimi kebaikkan yang sudah di berikkan oleh beliau.

 Akhirnya sejak saat itu kami tak pernah lagi memperdebatkan soal rasa dengan alasan apapun.


0 comments: