Cerita Kartini di negeri tembok Berlin



Cerita Kartini di negeri tembok Berlin

Vania. ©2013 Merdeka.com
52
 


Habis gelap terbitlah terang! Berkat kegigihan Raden Ajeng Kartini memperjuangkan nasib kaumnya, kini para perempuan di Indonesia bisa mengecap manisnya kebebasan. Baik itu dalam aspek pendidikan ataupun ekonomi.
Sosok Vania Edgwandita Koeberlein adalah satu di antara sekian banyak perempuan yang berhasil mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia. Wanita yang akrab disapa Vania itu berhasil membuktikan bahwa perempuan Indonesia juga memiliki otak yang cemerlang dan mampu bersaing dengan mereka yang berasal dari negara-negara maju.

Perjalanan panjangnya untuk menimba ilmu di Eropa dimulai pada tahun 2000, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Ketika itu, perempuan kelahiran 13 Juli 1983 itu iseng-iseng minta foto dengan pasangan bule Prancis yang kebetulan sedang berlibur di Candi Prambanan.
Perkenalan singkat itu rupanya berlanjut hingga di tahun 2001, pasangan bule Prancis tersebut kembali mengunjungi kediaman Vania di Malang. Seperti mendapat durian runtuh, tahun berikutnya Vania diajak berwisata keliling Prancis dan 5 negara lainnya di Eropa (Jerman, Belgia, Belanda, Austria dan Swiss). Beruntung semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh pasangan itu.

"Saat itu, kesan pertama saya tentang orang Eropa jalan cepat-cepat dan tidak banyak senyum. Tapi semuanya teratur dan bersih," papar Vania ketika dihubungi merdeka.com (19/4).

Tahun 2003-2004, Vania memberanikan diri ikut Au Pair (sebuah program yang mencari seorang asisten rumah tangga dari negara asing yang bekerja dan hidup sebagai bagian dari keluarga) di Jerman karena ingin memperbaiki kemampuan berbahasanya. Kala itu, Vania telah tercatat sebagai mahasiswi Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Malang angkatan 2001.

Dari situlah, kemudian perempuan yang mengaku punya hobi travelling ini mulai belajar bagaimana karakter orang Jerman. Sembari membantu pekerjaan rumah, seperti mengasuh anak dari keluarga yang ditinggalinya, Vania memperdalam bahasanya dengan mengikuti kursus.
Selama berada di Jerman, Vania mengaku sama sekali tidak pernah menerima perlakuan tidak mengenakkan dari orang lain, termasuk dari host family-nya. Sebab baginya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Beradaptasi adalah sesuatu yang wajib dilakukan jika seseorang ingin bertahan di negara asing.
Vania bersama dengan suami, Marc.
Setahun hidup di Jerman, perempuan yang sering disapa Aihua ini pun mendapatkan banyak pelajaran, termasuk tentang penerapan kedisiplin yang dimulai sejak dini. Anak-anak punya jadwal kapan mereka tidur, makan, dan main. Privasi juga menjadi hal penting yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jerman. Dan itulah yang membuat Vania merasa dihargai. Ketika libur, anak-anak tidak diasuh olehnya dan Vania boleh pergi kemana saja. "Jadi tidak ada kesan 'babu'," tegasnya.
Ujian

Vania memanfaatkan waktunya di Jerman dengan seefektif mungkin. Ia berusaha mengikuti tes kemampuan berbahasa Jerman, layaknya TOEFL, hingga bisa mencapai level tertinggi. Ketika hendak mengikuti tes ZMP (Zentrale Mittelstufenpruefung), Vania membutuhkan teman latihan seorang penutur asli. Kebetulan, sejak duduk di bangku sekolah dasar, Vania gemar surat-menyurat sehingga, ia pun memanfaatkan latihan tersebut untuk persiapan ujian.
Lalu di salah satu situs web, Vania menulis profilnya dan kemudian dapat email balasan dari seorang pria Jerman bernama Marc Koeberlein yang kini jadi pendamping hidupnya. Marc dengan telaten mengoreksi semua tugas Vania dari segi tata bahasa dan lain-lain. Dan hal itu berlanjut hingga sekarang, saat Vania melanjutkan kuliah Master-nya di Universitas Koeln.
Masa kuliah

Perjuangan perempuan lulusan SMAN 1 Malang ini untuk masuk ke sebuah universitas ternama di Jerman dan Taiwan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pada akhir tahun 2006, ketika akhirnya Vania memutuskan untuk menetap di Jerman, setelah menikah dengan Marc, ia membulatkan tekad untuk bisa berkuliah di Universitas Koeln, salah satu universitas ternama di Jerman.

"Tahun 2004, pas jalan-jalan sama Marc di Koeln, saya sempat melewati Universitas Koeln dan bilang 'Wah keren ya kalau bisa sekolah di sana'. Nah, siapa nyangka tahun 2007, saya tercatat sebagai mahasiswa di situ," kenang Vania.
Selama enam bulan, Vania berjuang mati-matian agar bisa tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Koeln. Untuk itu, beberapa syarat harus dipenuhinya, termasuk tes kemampuan berbahasa, Numerus Clausus (seperti NEM), dan beberapa dokumen penting lainnya.

Lolos seleksi masuk kuliah dan sukses mengalahkan calon mahasiswa dari negara-negara lain, termasuk Jerman, Vania tak lantas berpuas diri. Ini baru awal dari perjuangan panjangnya. Salah satu orang Indonesia yang juga berkuliah di Universitas Koeln mengatakan padanya dari 100% mahasiswa Indonesia yang masuk, hanya 10% yang bisa lulus dan dapat gelar.
Sejak itu Vania berjanji pada dirinya, ia akan masuk yang 10% itu. Benar, tahun 2012 Vania lulus dengan nilai sangat memuaskan dari Universitas Koeln. Dan tiga tahun sebelumnya, 2009, dirinya sempat lolos pertukaran mahasiswa ke Universitas Tamkang, kampus paling bergengsi di Taiwan. Kini, Vania pun kembali melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Master sembari bekerja.

Vania bersama teman-teman kuliahnya di Universitas Koeln
Untuk Indonesia

Tak ingin dibilang kacang lupa kulitnya, Vania tetap bangga menjadi orang Indonesia. Meski kini ia telah menetap di Jerman bersama suaminya, ia tak pernah lupa akan kecintaannya pada tanah air yang telah membesarkannya. Bersama rekan-rekannya dari Indonesia, Vania mengelola sebuah situs web berbahasa Jerman, www.indonesia-portal.de, untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia.

Terus berjuang para Kartini di negeri seberang. Sumbangsih kalian untuk negara telah membuka mata dunia tentang Indonesia.

0 comments: